Pertemuan ketiga (bagian 2)
• Apakah sungguh ada kebenaran
itu?
• Jika ada, apakah sesungguhnya
kebenaran itu?
• Apakah kebenaran itu bersifat
subyektif atau obyektif dan universal?
• Dapatkah manusia mencapai
kebenaran yang obyektif dan universal?
Nah, kali ini kita akan mengkaji lebih dalam tentang
kebenaran. Bukankah ini merupakan hal yang menarik? Sudahkah kita menemukan
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas?
·
Istilah benar – salah adalah istilah yang
digunakan untuk menilai kulitas atau sifat dari suatu pernyataan. Karena
pengetahuan didasarkan dari gabungan pernyataan, maka pengetahuan dapat dinilai
benar atau salah.
·
Konsep tidak dapat dinilai benar atau salah,
betul atau keliru. Konsep hanya bisa dinilai jelas dan terpilah atau kabur, memadai atau tidak
memadai.
·
Persepsi tidak dapat disebut benar atau salah.
Yang bisa disebut benar atau salah adalah isi pernyataan tentang apa yang
dipersepsikannya. Yang bisa benar atau salah adalah orang yang mepersepsikannya.
Jadi yang ditinjau dalam presepsi adalah kebenaran dari sisi orang yang
mempresepsikannya, bukan dari isi presepsi itu sendiri.
Pengertian kebenaran:
•Kata Yunani untuk kebenaran adalah alètheia.
•Pengertian Plato tentang kebenaran secara etimologi bahwa alètheia
berarti “ketaktersembunyiaan adanya” atau “ketersingkapan adanya”
•Kebenaran sebagai sifat pengetahuan disebut kebenaran
epistemologis.
•Lawan dari kebenaran adalah salah.
Secara umum kebenaran biasanya
dimengerti sebagai kesesuaian antara apa yang
dipirkan dan atau dinyatakan dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Suatu pengetahuan atau pernyataan
di sebut benar jika sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian, kenyataan menjadi
suatu ukuran penentu penilaian.
• Menurut Plato, selama kita terikat pada “yang ada” dan
tidak masuk pada “adanya dari yang ada”, kita belum berjumpa dengan kebenaran,
karena “adanya” itu masih tersembunyi. Sehingga kita harus menyingkapkan yang
terselubung itu untuk menemukan “yang ada” tersebut/ kebenaran.
•Menurut Plato, kebenaran terletak pada obyek yang
diketahui, atau pada apa yang dikejar untuk diketahui. Namun, kebenaran sebagai
hal yang tersembunyi adanya tidak dapat dicapai manusia selama hidupnya di
dunia ini.
•Berbeda dengan Plato, Aristoteles dalam memahami kebenaran
lebih memusatkan perhatian pada kualitas pernyataan yang dibuat oleh subyek
penahu ketika dirinya menegaskan suatu putusan entah secara afirmatif atau
negatif. Jadi kebenaran sebagai kesesuaian antara sunyek si pehanu dengan obyek
yang diketahui.
• Putusan yang bersangkutan bersifat afirmatif (menegaskan
atau menguatkan) (S itu P) atau negatif (S itu bukan P) tergantung dari benar-tidaknya putusan yang bersangkutan dengan kenyataan yang ada.
• Kaum Positivisme Logis membedakan kebenaran menjadi dua, yaitu kebenaran faktual dan
kebenaran nalar.
·
Kebenaran faktual adalah kebenaran
tentang ada tidaknya secara faktual di dunia nyata sebagaimana dialami manusia
(yang biasanya diukur dengan dapat atau tidaknya secara inderawi). Kebenaran
faktual dapat menambah/ memperluas pengetahuan kita. Kebenaran faktual
kepastiannya tidak pernah mutlak dan tetap diterima sebagai benar sejauh belum
ada alternatif pandangan lain yang menggugurkannya.
·
Kebenaran nalar adalah kebenaran yang
bersifat tautologis(pengulangan gagasan) dan tidak menambah pengetahuan baru
mengenai dunia, tetapi dapat menjadi sarana yang berdaya guna untuk memperoleh
pengatahuan yang benar tentang dunia ini.
·
Kebenaran nalar
dapat membantu untuk memperoleh kebenaran faktual.
Kebenaran nalar
sebagai kebenaran yang terdapat dalam logika dan matematika. Kebenarannya di
dasarkan pada penyimpulan deduktif.
·
Kebenaran nalar bersifat mutlak
dan tidak niscaya (tentu, pasti).
Menurut Thomas Aquinas,
maka kebenaran dibedakan menjadi dua, yaitu kebenaran Ontologis (Veritas
Ontologica) dan kebenaran Logis (Veritas Logica).
Kebenaran ontologis merupakan
kebenaran yang terdapat dalam kenyataan, entah spritual atau material, yang
meskipun ada kemungkinan untuk diketahui.
Kebenaran logis sebagai
kebenaran yang terdapat dalam akal budi manusia si penahu, dalam bentuk adanya
kesesuaian antara akal budi dengan kenyataan .
Kedudukan Kebenaran
• Kedudukan kebenaran pengetahuan dalam pandangan Platonis
lebih diletakkan dalam obyek atau kenyataan yang diketahui. Sedangkan Aristotelian
dalam subyek yang mengetahui, yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari.
• Dalam kenyataan hidup sehari-hari
pernyataan-pernyataan yang dianggap benar , walaupun memang menjadi tempat
kedudukan kebenaran, namun hal itu hanya terjadi apabila kenyataan yang
sesungguhnya tersingkap di dalamnya.
Kaum
Eksistensial menyatakan bahwa kebenaran
(kebenaran eksistensial) merupakan apa yang secara pribadi berharga bagi subyek
konkrit yang bersangkutan dan pantas untuk dipegang teguh dengan penuh
kesetiaan.
Kalau kebenaran ilmiah bersifat eksternal terhadap subyek, maka kebenaran eksistensial bersifat
internal terhadap subyek.
Dalam arti si subyek secara langsung terlibat dalam
perkara yang dinilai atau dipertaruhkan.
Kebenaran pada akhirnya berada
dalam relasi antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui.
Bagi manusia sebagai mahkluk
yang terbatas, kebenaran sebagai ketersingkapnya kenyataan sebagaimana
adanya. Dan, itu ternyata tidak dapat disaksikan secara sekaligus dan
menyeluruh.
Kesahihan dan Kekeliruan
• Kekeliruan perlu dibedakan
dengan kesahihan.
• Pada umunya kekeliruan berati
menerima sebagai benar apa yang dinyatakan salah atau menyangkal apa yang
senyatanya benar.
• Kekeliruan adalah segala
sesuatu yang menyangkut tindakan kognitif subyek penahu, sedangkan kesalahan
adalah hasil dari tindakan tersebut.
•Kekeliruan muncul akibat kegagalan dalam mengidentifikasi bukti yang
tepat, menganggap bukti sudah mencukupi
padahal belum atau sebaliknya menganggap bukti belum cukup padahal sudah.
•Kekeliruan dapat dikarenakan gegabah dalam menegaskan putusan tentang suatu perkara.
•Faktor yang dapat memungkinkan
terjadinya kekeliruan misalnya kompleksitas atau kekaburan perkara yang menjadi
persoalan.
Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan
terjadinya kekeliruan misalnya:
1.Sikap terburu-buru dan kurang
perhatian dalam salah satu tahap atau keseluruhan proses kegiatan mengetahui
2.Sikap takut salah yang
keterlaluan atau sebaliknya sikap terlalu gegabah dalam melangkah. Sikap yang
pertama menyebabkan orang menganggap belum cukup bukti untuk dapat menerima
kebenaran padahal sebenarnya sudah cukup, sedangkan sikap yang kedua terlalu
cepatr merasa cukup menegfaskan benar atau salah, padahal belum cukup bukti.
3.Kerancuan atau kebingungan
akibat emosi, frustasi, perasaan yang entah mengganggu konsentrasi atau membuat kurang terbuka terhadap
bukti-bukti yang tersedia.
4.Prasangka dan bias-bias, baik
individu maupun sosial.
5.Keliru dalam penalaran atau
tidak mematuhi aturan-aturan logika.
Sumber: slide powerpoint dosen terkait
Sumber: slide powerpoint dosen terkait
100
BalasHapushaha davied, komen di post lain ya, semoga artikelnya berguna
HapusWell this is interesting
BalasHapusglad to hear that, sist...
Hapusbagusss hazel blognya 88 buat kamu:)
BalasHapusthanks tasya
Hapus