Minggu, 21 September 2014

Kebenaran


Pertemuan ketiga (bagian 2)

• Apakah sungguh ada kebenaran itu?
• Jika ada, apakah sesungguhnya kebenaran itu?
• Apakah kebenaran itu bersifat subyektif atau obyektif dan universal?
• Dapatkah manusia mencapai kebenaran yang obyektif dan universal?
• Bagaimana kita dapat tahu bahwa sesuatu itu merupakan kebenaran?


Nah, kali ini kita akan mengkaji lebih dalam tentang kebenaran. Bukankah ini merupakan hal yang menarik? Sudahkah kita menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan diatas?
·      Istilah benar – salah adalah istilah yang digunakan untuk menilai kulitas atau sifat dari suatu pernyataan. Karena pengetahuan didasarkan dari gabungan pernyataan, maka pengetahuan dapat dinilai benar atau salah.
·      Konsep tidak dapat dinilai benar atau salah, betul atau keliru. Konsep hanya bisa  dinilai jelas dan terpilah atau kabur, memadai atau tidak memadai.
·      Persepsi tidak dapat disebut benar atau salah. Yang bisa disebut benar atau salah adalah isi pernyataan tentang apa yang dipersepsikannya. Yang bisa benar atau salah adalah orang yang mepersepsikannya. Jadi yang ditinjau dalam presepsi adalah kebenaran dari sisi orang yang mempresepsikannya, bukan dari isi presepsi itu sendiri.

Pengertian kebenaran:
•Kata Yunani untuk kebenaran adalah alètheia.
•Pengertian Plato tentang kebenaran secara etimologi bahwa alètheia berarti “ketaktersembunyiaan adanya” atau “ketersingkapan adanya”


•Kebenaran sebagai sifat pengetahuan disebut kebenaran epistemologis.
•Lawan dari kebenaran adalah salah.
Secara umum kebenaran biasanya dimengerti sebagai kesesuaian antara apa yang dipirkan dan atau dinyatakan dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Suatu pengetahuan atau pernyataan di sebut benar jika sesuai dengan kenyataan. Dengan demikian, kenyataan menjadi suatu ukuran penentu penilaian.

• Menurut Plato, selama kita terikat pada “yang ada” dan tidak masuk pada “adanya dari yang ada”, kita belum berjumpa dengan kebenaran, karena “adanya” itu masih tersembunyi. Sehingga kita harus menyingkapkan yang terselubung itu untuk menemukan “yang ada” tersebut/ kebenaran.

•Menurut Plato, kebenaran terletak pada obyek yang diketahui, atau pada apa yang dikejar untuk diketahui. Namun, kebenaran sebagai hal yang tersembunyi adanya tidak dapat dicapai manusia selama hidupnya di dunia ini.

•Berbeda dengan Plato, Aristoteles dalam memahami kebenaran lebih memusatkan perhatian pada kualitas pernyataan yang dibuat oleh subyek penahu ketika dirinya menegaskan suatu putusan entah secara afirmatif atau negatif. Jadi kebenaran sebagai kesesuaian antara sunyek si pehanu dengan obyek yang diketahui.

• Putusan yang bersangkutan bersifat afirmatif (menegaskan atau menguatkan) (S itu P) atau negatif (S itu bukan P) tergantung dari benar-tidaknya  putusan yang bersangkutan dengan kenyataan yang ada.

• Kaum Positivisme Logis  membedakan kebenaran menjadi dua, yaitu kebenaran faktual dan kebenaran nalar.

·      Kebenaran faktual adalah kebenaran tentang ada tidaknya secara faktual di dunia nyata sebagaimana dialami manusia (yang biasanya diukur dengan dapat atau tidaknya secara inderawi). Kebenaran faktual dapat menambah/ memperluas pengetahuan kita. Kebenaran faktual kepastiannya tidak pernah mutlak dan tetap diterima sebagai benar sejauh belum ada alternatif pandangan lain yang menggugurkannya.

·      Kebenaran nalar adalah kebenaran yang bersifat tautologis(pengulangan gagasan) dan tidak menambah pengetahuan baru mengenai dunia, tetapi dapat menjadi sarana yang berdaya guna untuk memperoleh pengatahuan yang benar tentang dunia ini.

·      Kebenaran nalar dapat membantu untuk memperoleh kebenaran faktual.
Kebenaran nalar sebagai kebenaran yang terdapat dalam logika dan matematika. Kebenarannya di dasarkan pada penyimpulan deduktif.
·      Kebenaran nalar bersifat mutlak dan tidak niscaya (tentu, pasti).

Menurut Thomas Aquinas, maka kebenaran dibedakan menjadi dua, yaitu kebenaran Ontologis (Veritas Ontologica) dan kebenaran Logis (Veritas Logica).
Kebenaran ontologis merupakan kebenaran yang terdapat dalam kenyataan, entah spritual atau material, yang meskipun ada kemungkinan untuk diketahui.
Kebenaran logis sebagai kebenaran yang terdapat dalam akal budi manusia si penahu, dalam bentuk adanya kesesuaian antara akal budi dengan kenyataan .

Kedudukan Kebenaran
• Kedudukan kebenaran pengetahuan dalam pandangan Platonis lebih diletakkan dalam obyek atau kenyataan yang diketahui. Sedangkan Aristotelian dalam subyek yang mengetahui, yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Dalam kenyataan hidup sehari-hari pernyataan-pernyataan yang dianggap benar , walaupun memang menjadi tempat kedudukan kebenaran, namun hal itu hanya terjadi apabila kenyataan yang sesungguhnya tersingkap di dalamnya.

Kaum Eksistensial menyatakan bahwa kebenaran (kebenaran eksistensial) merupakan apa yang secara pribadi berharga bagi subyek konkrit yang bersangkutan dan pantas untuk dipegang teguh dengan penuh kesetiaan.
Kalau kebenaran ilmiah bersifat eksternal terhadap subyek, maka kebenaran eksistensial bersifat internal terhadap subyek.
Dalam arti si subyek secara langsung terlibat dalam perkara yang dinilai atau dipertaruhkan.

Kebenaran pada akhirnya berada dalam relasi antara subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui.
Bagi manusia sebagai mahkluk yang terbatas, kebenaran sebagai ketersingkapnya kenyataan sebagaimana adanya. Dan, itu ternyata tidak dapat disaksikan secara sekaligus dan menyeluruh.

Kesahihan dan Kekeliruan
• Kekeliruan perlu dibedakan dengan kesahihan.
• Pada umunya kekeliruan berati menerima sebagai benar apa yang dinyatakan salah atau menyangkal apa yang senyatanya benar.
• Kekeliruan adalah segala sesuatu yang menyangkut tindakan kognitif subyek penahu, sedangkan kesalahan adalah hasil dari tindakan tersebut.
•Kekeliruan muncul akibat kegagalan dalam mengidentifikasi bukti yang tepat, menganggap bukti sudah mencukupi padahal belum atau sebaliknya menganggap bukti belum cukup padahal sudah.
•Kekeliruan dapat dikarenakan gegabah dalam menegaskan putusan tentang suatu perkara.  
•Faktor yang dapat memungkinkan terjadinya kekeliruan misalnya kompleksitas atau kekaburan perkara yang menjadi persoalan.

Sedangkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kekeliruan misalnya:
1.Sikap terburu-buru dan kurang perhatian dalam salah satu tahap atau keseluruhan proses  kegiatan mengetahui
2.Sikap takut salah yang keterlaluan atau sebaliknya sikap terlalu gegabah dalam melangkah. Sikap yang pertama menyebabkan orang menganggap belum cukup bukti untuk dapat menerima kebenaran padahal sebenarnya sudah cukup, sedangkan sikap yang kedua terlalu cepatr merasa cukup menegfaskan benar atau salah, padahal belum cukup bukti.
3.Kerancuan atau kebingungan akibat emosi, frustasi, perasaan yang entah mengganggu konsentrasi  atau membuat kurang terbuka terhadap bukti-bukti yang tersedia.
4.Prasangka dan bias-bias, baik individu maupun sosial.
5.Keliru dalam penalaran atau tidak mematuhi aturan-aturan logika.

Sumber: slide powerpoint dosen terkait

6 komentar: