Menjalani kehidupan yang kelam mulai dari kecil, masalah keluarga yang beragam, sampai cinta yang tak sampai dipelaminan, Soren Kierkegaard tetap dapat melahirkan karya-karya yang terkemukan. Dikenal sebagai bapak eksistensialisme, karya-karyanya telah menginspirasi banyak tokoh di kemudian hari. Salah satu kata mutiara darinya adalah, “Hidup bukanlah masalah yang harus diatasi, tapi kenyataan yang harus dialami.”
(http://sidomi.com/183163/soren-kierkegaard-sang-bapak-filsafat-eksistensialisme/)
Pokok-pokok ajaran Kierkegaard
• Ia melakukan kritik terhadap Hegel: Karena menurut
Kierkegaard ada satu hal yang dilupakan Hegel, yaitu eksistensi menusia
individual dan konkret.
Manusia tdk dpt dibicarakan ‘pd umumnya’ atau ‘menurut
hakekatnya’, karena manusia pada umumnya tidak ada.
• Yang ada itu adalah manusia konkret yg semua penting,
berbeda dan berdiri di hadapan Tuhan. Manusia itu eksistensi.
•Eksistensi berarti bagi Kierkegaard: merealisir diri,
mengikat diri dengan bebas, dan mempraktekkan keyakinannya dan mengisi
kebebasannya.
• Hanya manusia bereksistensi, karena dunia, binatang dan
sesuatu lainnya hanya ‘ada’. Juga Tuhan ‘ada’. Tapi manusia harus
bereksistensi, yakni menjadi (dlm waktu) seperti ia (akan) ada (secara abadi).
Ada tiga cara bereksistensi/ tiga sikap terhadap hidup, yaitu:
sikap estetis, sikap etis dan sikap religius.
• Sikap estetis: Merengguh sebanyak mungkin
kenikmatan, yang dikuasai oleh perasaan. Cara hidup yang amat bebas. Manusia harus
memilih hidup terus dengan kenikmatan atau meloncat ke tingkat lebih tinggi lewat
pilihan bebas.
• Sikap etis: Sikap menerima kaidah-kaidah moral,
suara hati dan memberi arah pada hidupnya. Manusia sudah mengakui kelemahannya,
tapi belum melihat cara mengatasinya. Bila ia mengakui butuh pertolongan dari
atas, maka ia loncat ke sikap hidup religius.
•Sikap religius: Berhadapan dengan Tuhan, manusia
sendirian. Karena manusia religius percaya pada Allah, maka Allah
memperlihatkan diriNya pada manusia. Percaya model A ialah Allah hadir
dimana-mana. Yang sukar adalah percaya model B: percaya bahwa Allah menerima
wajah manusiawi dalam Yesus agar bisa berjumpa dengan Dia.
Jika kita
percaya model B, kita percaya bahwa kita yang lahir dalam waktu bisa menjadi
abadi. Kita bisa menjadi spt yang kita percayai.
Manusia menjadi seperti yang dipercayainya:
• Pernyataan Parmenides hingga Hegel: ‘Berpikir sama dengan
berada’ ditolak oleh Kierkegaard, karena menurutnya ‘percaya itu sama dengan
menjadi’. Disini dan kini manusia percaya dan menentukan bagaimana dia akan ada
secara abadi. Manusia memilih eksistensinya entah sebagai penonton yg pasif,
atau sebagai pemain/individu yg menentukan sendiri eksistensinya dengan mengisi
kebebasannya.
Waktu dan keabadian
• Setiap orang
adalah campuran dari ketakterhinggaan dan keterhinggaan. Manusia adalah gerak
menuju Allah, tapi juga terpisah/terasing dari Allah. Manusia dapat menyatakan
YA kpd Tuhan dalam iman, atau mengatakan TIDAK.
Jika ia mengatakan YA, ia akan menjadi yg ia ada.
Manusia hidup dalam dua dimensi sekaligus: keabadian dan
waktu. Kedua dimensi itu bertemu dalam ‘saat’. Saat adalah titik dimana waktu
dan keabadian bersatu. Kita menjadi eksistensi dlm saat, yaitu saat pilihan.
Pilihan itu suatu ‘loncatan’ dari waktu ke keabadian.
Subjektivitas dan eksistensi sebagai tugas
• Eksistensi manusia bukan sekadar suatu fakta, tapi lebih dari
itu. Eksistensi manusia adalah tugas, yang harus dijalani dengan kesejatian sehingga
org tidak tampil dengan semu.
Bila eksistensi
suatu tugas, ia harus dihayati sebagai suatu yang etis dan religius. Eksistensi
sbg tugas disertai oleh tanggungjawab. Tidak seperti berada dalam massa,
eksistensi sejati memungkinkan individu memilih dan mengambil keputusan
sendiri.
Publik dan Individu
• Pendapat umum kerap didukung oleh khalayak ramai yang
anonim belaka. Publik bagi Kierkegaard hanya abstraksi belaka, bukan realitas.
Publik menjadi berbahaya bila itu dianggap nyata.
• Org sering berusaha menggabungkan diri dalam kelompok dengan
mengumpul tanda tangan. Ini bukti org itu tidak berani tampil sendiri secara
berarti. Mereka itu orang-orang lemah. Mengandalkan diri pada kekuatan numerik.
Ini adalah kelemahan etis. Kierkegaard bukan menolak adanya
kemungkinan bagi manusia untuk bergabung dengan yang lain.
“Hanya setelah
individu itu mencapai sikap etis barulah penggabungan bersama dapat disarankan.
Kalau tidak, penggabungan individu yang lemah sama memuakkan seperti perkawinan
antara anak-anak.”
Sumber: PPT dosen terkait.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar