Minggu, 21 September 2014

Subyektivisme dan Obyektivisme


Pertemuan keempat sesi 1

1.     Subyektivisme



Aliran ini membahas bahwa pengetahuan didasari oleh individu. Titik tolak dari pandangan ini yaitu bahwa pengetahuan dipandang pada keyakinan pribadi.
Pendukung Subyektivisme adalah:
- Aristoteles, Plato, Rene Descartes
•- Kaum Solipsisme (solo ipse)
- Kaum Realisme Epistemologis (membahas kenyataan)
- Kaum Idealisme Epistemologis (membahas ide dari subyek)

Ciri-ciri pendekatan Subyektivisme:
- Menggagas pengetahuan sbg suatu keadaan mental yang khusus (semacam kepercayaan yang istimewa),misalnya sejarah, kepercayaan2 yg lain, dst.
- Pengalaman subyektif (kokoh terjamin) sbg titik tolak pengetahuan dari data inderawi (intuisi) diri sendiri.
- Prinsip subyektif tentang alasan cukup, karena pengalamanan bersifat personal, benar secara pasti dan meyakinkan karena berlaku sebagai pengetahuan langsung dari diri subyek. Sehingga hal ini tidak dapat disanggah maupun ditolak oleh pribadi yang lainnya.


DESCARTES: Cogito ergo sum cogitans: saya berpikir maka saya adalah pengada yang berpikir.
• Ketika Descartes berbicara mengenai “berpikir”, ia tidak bermaksud secara eksklusif pada penalaran saja, tetapi seluruh kegiatan sadar, -seperti melihat, mendengar, merasa, senang atau sakit, kehendak -, masuk dalam kegiatan “berpikir”.
Realisme Epistemologis: berpendapat bahwa kesadaran menghubungkan saya dengan “apa yg lain” dari diri saya.
Idealisme Epistemologis: berpendapat bahwa setiap tindakan mengetahui berakhir di dlm suatu ide, yg merupakan suatu peristiwa subyektif murni.


Filsuf lain setelah Descartes menekankan pada diri sendiri dan situasi sadar. Pengetahuan tentang diri sendiri merupakan pengetahuan langsung.
Semua pengetahuan tentang  sesuatu “yang bukan aku” atau “yang diluar diri sendiri” diragukan kepastian kebenarannya.
Pengetahuan tentang “yang bukan aku” merupakan pengetahuan tidak langsung.

Refleksi Subyektif:
•Bagaimana orang dapat keluar dari pikirannya sendiri dan mengetahui dunia obyektif di luar diri?
•Bagaimana  kita ketahui apakah gagasan tentang obyek sesuai dengan obyeknya itu sendiri dan bukan ilusi kita sendiri?
Artinya, ada keterbatasan yang dialami dalam pandangan subyektif, yaitu ada sesuatu hal yang tidak dapat ditangkap secara inderawi.

Descartes menolak skeptisme yang membawanya justru ke arah subyektivisme.
Mengapa?
Sikap dasar skeptisisme adalah kita tidak pernah tahu tentang apa pun.
Skeptisisme meragu-ragukan kemungkinan bahwa manusia bisa mengetahui sesuatu karena tidak ada bukti yang cukup bahwa manusia  benar tahu tentang sesuatu. 
Descartes adalah seorang rasionalis. Sehingga ia mengesampingkan empirisme.
Baginya rasio atau pikiran adalah satu-satunya sumber dan jaminan kebenaran pengetahuan.

Descartes meragukan pengalaman inderawi dalam menjamin kebenaran pengetahuan, termasuk pengetahuan tentang dunia luar kita. Menurutnya, Tuhan Yang Maha Kuasa dapat saja secara langsung memunculkan data-data indra  dalam kesadaran kita tanpa harus ada “dunia luar” yang mendasarinya.
Walaupun indera dapat memberikan pengetahuan tentang dunia fisik yang dapat dipercayai. Namun, kebenaran bukan karena indera sendiri dapat diandalkan, tetapi hanya berdasarkan keyakinan Tuhan yang menciptakan indera pada manusia yang tidak mungkin menipu.

Descartes ke dalam posisi ekstrim yang disebut Solipsisme. (bhasa Latin gabunga antaran Solus dan ipse yang berarti “ia sendiri pada dirinya”
Keberadaan atau pengetahuan mengenai “yang lain” atau “yang bukan diri sendiri” hanya dapat disimpulkan secara tidak langsung dari kebenaran dan pengetahuan mengenai diri sendiri.
Kesadaran akan diri sendiri merupakan hasil dari suatu proses bertahap melalui pengalaman pergulatan dengan dunia luar.

-> Keberadaan sesuatu di luar diri atau “yang bukan aku” dalam pengalaman sehari-hari misalnya menjadi jelas dari gejala bahasa.
 Kenyataan adanya bahasa selalu mengandaikan bahwa adanya pribadi atau subyek lain selain dirinya sendiri.
Bahasa sebagai saranan komunikasi untuk menjalin hubungan dengan yang lain. Berkaitan dengan gejala bahasa bahwa melalui pengalaman sehari-hari terjadinya dilaog, yang mengandaikan adanya orang lain.
 Dalam keseleuruhan proses dialog keberadaan diandaikan adanya subyek lain atau “yang bukan aku” atau dia yang menjadi lawan bicara ku.
Kita mengenal keberadaan dunia di luar diri dari pengalaman berhadapan dan berinteraksi dengannya.
Aku bisa tahu bahwa orang lain yang menjadi lawan bicara ku dalam dialog adalah pribadi seperti aku, karena dia mengungkapkan perilaku sebagaimana aku berperilaku.
Orang tidak akan mempunyai kesadaran eksplisit tentang dirinya sebagai individu selain melalui interaksi dengan individu lain lain atau “yang bukan aku”.

Aku sadar dan kenal diriku justru dalam kesadaran dan pengenalan yang bukan aku.
Dalam kenyataan hidup diri sebagai subyek yang bukan hanya berfungsi sebagai penahu (knower), tetapi juga sebagai pelaku (agen) tidak bisa mengandaikan adanya “yang lain” baik sebagai obyek pengetahuan dan kegiatannya maupun sebagai sesama subyek dalam dialog. 

• Apabila paham subyektivisme hanya mau dikatakan ttg pentingnya peran subyek atau sisi subyektivitas pengetahuan, maka paham ini masih dapat diterima.
• Apabila mengklaim bahwa sesungguhnya ada dan dapat diketahui dengan pasti itu hanyalah subyek dan gagasannya, sedangkan semuanya yang lain baik adanya maupun dapat diketahui perlu diragukan, serta menentang adanya obyektivisme, maka paham subyektivisme tersebut tidak dapat diterima.




Objektivisme merupakan suatu pandangan yang menekankan bahwa butir-butir pengetahuan manusia – dari soal yang sederhana sampai teori yang kompleks – mempunyai sifat dan ciri yang melampaui (di luar) keyakinan dan kesadaran individu (pengamat).
Pengetahuan diperlakukan sebagai sesuatu yang berada diluar ketimbang di dalam pikiran manusia. Tolak ukur yang digunakan adalah apa yang ada pada objek yang dituju.
Pendukung pandangan ini adalah:
Popper, Latatos dan Marx

Obyektivisme merupakan pandangan bahwa obyek yang kita persepsikan melalui perantara indera kita itu ada dan bebas dari kesadaran manusia.
Aliran ini tidak bergantung pada orang yang memahaminya, tetapi terlepas dari siapa yang memandangnya, segala sesuatu tetap dapat dipahami.

Ada 3 pandangan dasar Objektivisme:
1.Kebenaran itu independen terlepas dari pandang subjektif,
2.Kebenaran itu datang dari bukti faktual,
3.Kebenaran hanya bisa didasari dari pengalaman inderawi.
Pandangan ini sangat dekat dengan positivisme dan empirisme.

Pengetahuan dalam pengertian Objektivis:
• Sepenuhnya independen dari klaim seseorang untuk mengetahuinya,
• Pengetahuan itu terlepas dari keyakinan seseorang atau kecenderungan untuk menyetujuinya atau memakainya untuk bertindak.
• Pengetahuan dalam pengertian obyektivis adalah pengetahuan tanpa orang: ia adalah pengetahuan tanpa diketahui subjek.” (Karl R. Popper)

Sifat suatu obyek:
Obyek itu bersifat “umum” dalam arti bahwa obyek yang sama dapat dipersepsikan oleh pengamat yang jumlahnya tidak terbatas.
Obyek-obyek itu bersifat permanen, baik untuk dipersepsikan atau pun tidak.

• Obyek-obyek memiliki kualitas-kualitas yang sama seperti yang disajikan kepada persepsi, sehingga tindakan persepsi tidak mengubah sedikit pun obyek.
• Para filsuf Skolastik mengangap perlu untuk memperbaiki beberapa keyakinan harian kita, yaitu: meletakkan “kesalahan” pada indera, karena indera tidak pernah salah.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menentukan kebenaran obyektif:
a. Obyek harus sesuai dengan jenis indera kita.
            b. Organ indera harus normal dan sehat.
            c. Karena obyek ditangkap melalui medium, maka medium itu harus ada.

Perlu mengingat pembedaan antara obyek khusus dan obyek umum.
= Obyek khusus merupakan data yang ditangkap hanya oleh satu indera. Misalnya, warna, suara, bau.
= Obyek umum merupakan data yang dapat ditangkap oleh lebih dari satu indera. Misalnya keluasan dan gerakan yang dapat dilhat dan diraba atau oleh indera lainnya.

•Keyakinan tidaklah selalu obyektif dalam hubungannya dengan kesadaran pertimbangan, tetapi obyek-obyek konseptual benar-benar bersifat obyektif.
•Masalah persepsi tetap merupakan masalah yang paling besar yang tidak terpecahkan di dalam keseluruhan epistemologi.

Sumber: slide powerpoint dosen terkait

4 komentar: